Melapor Kekerasan Seksual : Berikut Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan

  1. IT’S NOT YOUR FAULT
  2. Perlu diingat bahwa tindakan kekerasan seksual yang terjadi bukanlah kesalahan dari seorang penyintas melainkan, murni kesalahan dari si pelaku. Pola pikir tersebut sangat penting untuk dicamkan sebelum seorang penyintas melakukan pelaporan kasus kekerasan seksual. Pola pikir ini juga memiliki kekuatan yang akan menumbuhkan rasa berani bertindak agar kasus kekerasan seksual dapat segera ditangani dan diselesaikan.

  3. YUK CARI BANTUAN
  4. Setelah memiliki pola pikir bahwa tindakan kekerasan seksual bukanlah kesalahan seorang penyintas, sudah saatnya menumbuhkan keberanian untuk mencari bantuan dari orang terdekat maupun bantuan profesional seperti bantuan dari pengacara atau psikolog. Dengan adanya dukungan baik dari keluarga, teman dekat, dan bantuan professional dapat memberikan keringanan dari trauma serta keberanian untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual.

  5. LAPORKAN
  6. Keberanian untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual merupakan hal yang sangat penting, agar kasus tersebut dapat terselesaikan. Sebelum mengajukan laporan terhadap tindakan kekerasan seksual, sebaiknya lakukanlah pengumpulan bukti selengkap dan sedetail mungkin (screenshot chat, rekaman audio/video, kesaksian orang lain ataupun alat bukti elektronik yang telah diakui sebagai alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 5 dan 6 UU ITE. Laporkanlah kasus kekerasan seksual kepada pihak kepolisian atau mendatangi pusat layanan terdekat seperti:

    • Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2A)
    • Lembaga Bantuan Hukum
    • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
    • Organisasi Layanan Konseling

  7. RAHASIAKAN IDENTITAS KORBAN!
  8. Perihal identitas korban, perlu diketahui dan diingat bahwa telah diatur dalam pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengenai hak korban untuk dirahasiakan identitasnya. Hak ini juga diatur di Pasal 53 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (pada kasus di lingkungan PT). Apabila korban adalah anak di bawah umur, Pasal 19 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, mengatur mengenai perlindungan identitas anak korban kekerasan seksual. Pasal 26 UU ITE juga mengatur mengenai persetujuan tentang penggunaan data pribadi (termasuk identitas). Kerahasiaan identitas penyintas ini dinilai sangat penting untuk dijaga, guna menghindari perlakuan diskriminasi terhadap penyintas.

  9. ANCAMAN UU ITE?
  10. Belakangan ini pelapor kasus kekerasan seksual justru dilaporkan kembali oleh pihak pelaku atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Namun, berdasarkan pada SKB UU ITE tentang pedoman Pasal 27 ayat 1 mengenai kesusilaan mencantumkan bahwa muatan pelanggaran atau kesusilaan harus dilihat konteks dan tujuannya. Selain itu, Pada SKB UU ITE Pedoman nomor 3d tentang pasal 27 Ayat 3 disebutkan apabila fakta yang dituduhkan sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan dulu kebenarannya, sebelum penegak hukum memproses pelaporan delik pencemaran nama baik. Mengingat kedudukan SKB UU ITE adalah sebagai pedoman bagi penegak hukum (dalam hal pelaporan, polisi) dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana tidak mengatur “saling lapor” dari kedua belah pihak di waktu yang sama, maka seharusnya penegak hukum mengacu pada aturan di SKB UU ITE (sebagai aturan yang lebih baru, dan kedudukannya lebih tinggi daripada Peraturan Kapolri, Asas Lex Posterior Derogat Lex Priori).

    Di Indonesia, UU ITE memiliki eksistensi yang sangat rentan untuk disalahgunakan oleh mereka yang memegang kekuasaan serta uang. Dalam hal “kerugian” yang dialami oleh pelapor pencemaran nama baik dan beban pembuktian, hal ini menjadi masalah tersendiri. Pada kasus Dekan FISIP UNRI, tersangka sempat berencana melaporkan pencemaran nama baik dan menuntut sebesar 10 miliar rupiah yang tidak begitu memiliki dasar yang jelas, apakah kerugian materiil/immateriil. Padahal, pelaporan Pasal 27 Ayat 3 merupakan tindak pidana, dan pidana dendanya maksimal adalah 750 juta Rupiah. Pada kasus Baiq Nuril, sayangnya SKB UU ITE belum berlaku pada saat itu, walau kepolisian bisa lebih cermat mengingat dimensi kasusnya lebih kepada pelecehan seksual yang berarti Baiq Nuril berkepentingan untuk membela diri dari ancaman kekerasan seksual yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan Pasal 310 Ayat 3 KUHP, yang juga menjadi landasan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE menurut Putusan MK Nomor 50/PUU/VI/2008 (Uji materiil Pasal 27 Ayat 3 UU ITE)