Perbandingan Hukum Deepfake di Berbagai Negara

Fenomena penggunaan deepfake semakin menjadi perhatian serius di tengah segala kemajuan zaman modern. Praktik manipulasi visual ini telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam karena sifatnya yang menyinggung keamanan privasi individu. Para pelaku dapat dengan mudah melakukan kejahatan di mana pun lokasi mereka hanya dengan menggunakan komputer, laptop, atau handphone untuk membuat deepfake lewat kemajuan AI.

Penyalahgunaan gambar deepfake dapat memicu stres dan kecemasan berkepanjangan bagi penyintas, menghambat interaksi sosial dan hubungan antara individu, serta meningkatkan risiko menarik diri dari lingkungan sosial. Penyintas kehilangan rasa percaya terhadap orang lain dan mengalami kesulitan dalam membedakan antara kenyataan dan imajinasi. Dampak ini mengakibatkan isolasi sosial, perasaan malu, dan stigma yang mendalam, yang memperburuk kondisi psikologis mereka dan memicu perasaan kesepian dan depresi. Dukungan psikologis dan sosial yang tepat sangat penting untuk membantu korban pulih, membangun kembali kepercayaan diri, dan merasa aman dalam lingkungan sosial mereka.

Setiap negara memiliki ketentuan masing-masing dalam mengatasi permasalahan deepfake. Dalam konteks tersebut, penting untuk membandingkan kebijakan yang telah ada di berbagai negara terkait penggunaan dan regulasi deepfake image. Analisis komprehensif terhadap perbandingan antar regulasi tiap negara ini menjadi sangat relevan untuk mengidentifikasi upaya perlindungan terbaik dalam menghadapi tantangan teknologi ini.

Regulasi Deepfake di Indonesia

Deepfake merupakan gabungan dari kata deep learning (penggunaan teknologi yang memerlukan teknik khusus) dan fake (palsu). Secara khusus, deepfake adalah rekaman video atau suara yang menggantikan wajah atau suara seseorang dengan orang lain menggunakan media sintetis. Definisi mengenai tindakan deepfake tidak diatur secara definitif dalam hukum positif di Indonesia, tetapi terdapat ketentuan yang mengatur tindakan ini. Deepfake dapat dikriminalisasi dengan beberapa ketentuan perundang-undangan yakni dengan pasal 35 UU ITE, Pasal 66 Undang-undang PDP,  Pasal 4 UU Pornografi. Ketentuan-ketentuan tersebut memiliki sanksi dan denda masing-masing yang sangat berat.

Afrika Selatan

Secara hukum, istilah deepfake tidak secara eksplisit didefinisikan atau disebutkan. Namun, hukum mengkriminalisasi produksi dan berbagi gambar yang menggambarkan kemiripan korban atau telah diubah atau dimanipulasi untuk menggambarkan kemiripan korban. Undang-Undang Kejahatan Siber Afrika Selatan menyatakan bahwa jika seseorang secara tidak sah (dengan maksud untuk menipu) membuat data palsu yang dapat merugikan orang lain, orang tersebut bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan daring. Selain itu, Section 16 dari Undang-Undang Kejahatan Siber menyatakan bahwa siapapun yang secara tidak sah dan dengan sengaja mengungkapkan pesan data gambar intim melalui layanan komunikasi elektronik, baik nyata maupun disimulasikan, dari seseorang tanpa persetujuan mereka, dianggap melakukan suatu pelanggaran.

Australia

Di Australia, terdapat Online Safety Act yang mengatur berbagi gambar seksual tanpa persetujuan. Undang-undang ini secara luas mendefinisikan gambar intim, dan tidak masalah apakah gambar tersebut telah diubah atau tidak. Ketentuan ini dapat diinterpretasikan secara luas untuk mencakup penyalahgunaan seksual berbasis gambar deepfake selama “material tersebut menggambarkan, atau tampaknya menggambarkan, bagian tubuh seseorang, material dianggap menggambarkan orang tersebut, atau tampaknya menggambarkan orang tersebut, sesuai kebutuhan kasusnya”. Jika gambar deepfake menggambarkan konten online ilegal dan terbatas, maka Skema Konten Online mungkin berlaku. Di bawah Skema Konten Online, Komisioner eSafety dapat memfasilitasi penghapusan materi yang paling berbahaya secara serius (seperti gambar yang menunjukkan pelecehan seksual terhadap anak-anak atau yang mengadvokasi terorisme) dan membatasi akses ke materi yang tidak pantas untuk anak-anak (seperti pornografi online).

UK

Di Inggris, Online Safety Act yang baru disahkan menciptakan ketentuan baru dalam Undang-Undang Kejahatan Seksual. Mengirim gambar atau film dari alat kelamin seseorang dengan tujuan menimbulkan ketakutan, keresahan, atau penghinaan menjadi tindak pidana. Tindakan pidana ini akan berlaku untuk gambar dan video yang “dibuat dengan grafis komputer”. Selain itu, dalam konteks Undang-Undang Kejahatan Seksual, lingkup istilah ‘film’ mencakup data yang disimpan dengan cara apa pun yang dapat dikonversi menjadi video dari alat kelamin seseorang. Hal ini dapat berpotensi berlaku untuk kode yang digunakan untuk melatih sistem kecerdasan buatan untuk menghasilkan konten tersebut sesuai dengan lingkup hukum. Meskipun demikian, masih perlu dilihat bagaimana Layanan Kejaksaan Kerajaan akan menginterpretasikannya, termasuk klarifikasi melalui panduan hukuman lanjutan.

Undang-undang lain seperti The Criminal Justice and Courts Act, the Malicious Communication Act, dan the Communications Act, bersama dengan undang-undang privasi dan perlindungan data, dapat digunakan untuk mengkriminalisasi penggunaan deepfake untuk memanfaatkan dan menyalahgunakan secara seksual.

Kenya

The Computer Misuse dan Cybercrimes Act mengkriminalisasi publikasi yang disengaja dari data yang menyesatkan atau fiktif dengan maksud bahwa hal yang sama diandalkan sebagai autentik. Selain itu, Section 27 dari Undang-Undang yang sama mengkriminalisasi pelecehan cyber dan melarang setiap komunikasi yang mungkin menyebabkan ketakutan akan kekerasan, merugikan orang lain, atau menyebabkan ketidaksenonohan atau sifat yang ofensif dan mempengaruhi orang tersebut. Artinya, pembuatan dan publikasi deepfake untuk tujuan yang disebutkan di atas dilarang. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam Information and Communication Pasal 15, the Sexual Offences Pasal 16, the Defamation Pasal 17, dan the Copyright Pasal 18 di Kenya.

USA

Di Amerika Serikat, tidak ada undang-undang federal yang mengatur tentang tindakan deepfake. Namun, ada undang-undang di tingkat negara bagian yang melakukannya. Sebagai contoh, Section 255.004(d) dari Texas Election Code yang berbunyi “a video created with artificial intelligence that, with the intent to deceive, appears to depict a real person performing an action that did not occur in reality” dan melarang deepfake yang bermaksud “to injure a candidate or influence the result of an election”. Sayangnya, undang-undang Texas yang melarang deepfake tidak mencakup deepfake yang menggambarkan kekerasan seksual.

Di California, Civil Code memungkinkan korban untuk mengajukan tuntutan terhadap seseorang yang entah menciptakan dan mengungkapkan “pencitraan yang diubah secara seksual” di mana mereka tahu atau seharusnya tahu bahwa individu yang digambarkan tidak memberikan persetujuan untuk penciptaan atau pengungkapan; atau mengungkapkan gambar yang diubah secara seksual yang dibuat oleh orang lain, di mana mereka tahu individu yang digambarkan tidak memberikan persetujuan untuk penciptaannya. “Pencitraan yang diubah” berarti tindakan yang sebenarnya dilakukan oleh individu yang digambarkan tetapi kemudian diubah.

Undang-undang Virginia melarang penyebaran dan penjualan deepfake dengan melarang video atau gambar diam yang menggambarkan orang sungguhan dan dapat dikenali yang gambarnya dibuat, disesuaikan, atau dimodifikasi. Amandemen pada ketentuan Kode tersebut menjelaskan bahwa “orang lain” termasuk seseorang yang gambarannya digunakan dalam membuat, menyesuaikan, atau memodifikasi video atau gambar diam dengan maksud untuk menggambarkan orang sungguhan dan yang dapat dikenali sebagai orang sungguhan melalui wajah, kemiripan, atau karakteristik lainnya.

Kesimpulan

Kesimpulannya, meskipun deepfake merupakan masalah global yang mempengaruhi privasi dan keamanan individu di seluruh dunia, pendekatan regulasi berbeda-beda di setiap negara, mencerminkan perbedaan dalam prioritas hukum dan sosial masing-masing. Regulasi ini penting tidak hanya untuk memberikan kerangka hukum yang jelas dalam mengatasi penyalahgunaan teknologi deepfake, tetapi juga untuk melindungi individu dari dampak negatif yang sangat merusak seperti pelecehan, pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi palsu. Selain itu, regulasi yang kuat dapat memberikan dasar hukum bagi penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap pelaku, memberikan rasa aman dan perlindungan bagi masyarakat luas. Dukungan psikologis dan sosial yang memadai juga krusial dalam proses pemulihan korban, membantu mereka mengatasi trauma, membangun kembali kepercayaan diri, dan kembali merasa aman dalam lingkungan sosial mereka. Upaya ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga hukum, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perlindungan dan pemulihan korban secara komprehensif. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan terpadu, tantangan yang ditimbulkan oleh teknologi deepfake dapat dihadapi secara efektif dan manusiawi.