Kekerasan Berbasis Gender: Definisi dan Jenis-jenisnya
Kekerasan banyak terjadi di sekitar kita, salah satunya kekerasan berbasis gender (gender-based violence). Menurut UNHCR, kekerasan berbasis gender adalah tindakan berbahaya yang ditujukan pada individu akibat gender individu tersebut, yang berakar pada ketidaksetaraan gender, dan penyalahgunaan kekuasaan dan norma-norma yang merugikan.
Ada beberapa jenis kekerasan berbasis gender, yaitu:
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah KBG yang difasilitasi teknologi di mana tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksualitas.
Mengutip definisi dari Internet Governance Forum, Association for Progressive Communications KBGO sebagai sejumlah perilaku yang seringkali merupakan perpanjangan dari kekerasan berbasis gender yang ada, seperti kekerasan dalam rumah tangga, penguntitan dan pelecehan seksual, atau menargetkan korban berdasarkan jenis kelamin atau seksualitasnya yang dilakukan sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi (TIK), seperti telepon genggam, internet, platform media sosial, dan email.
Tindakan-tindakan berikut tergolong sebagai KBGO:
Penguntitan (Online Surveillance/Cyberstalking/Stalking and Monitoring)
Cyberstalking merupakan perlakuan teror dan ancaman ke pihak korban melalui media online. Umumnya, cyberstalking dilakukan oleh beberapa oknum yang hendak mencari informasi sebanyak mungkin dari korban untuk aksi penipuan, fitnah, hingga ancaman.
Menurut Black’s Law Dictionary edisi ke-11, cyberstalking adalah tindakan mengancam, melecehkan, atau mengganggu seseorang melalui beberapa pesan email, sebagai melalui internet, terutama dengan maksud menempatkan penerima dalam ketakutan bahwa tindakan ilegal atau cedera akan dikenakan pada penerima atau anggota dari keluarga atau rumah tangga penerima.
Cyberstalking diatur dalam Pasal 45B Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.”
Ancaman Perkosaan atau Kematian (Cyber Harassment/Harassment/Networked Harassment)
Ancaman ini termasuk berbagai komunikasi digital yang tidak diinginkan, bisa dalam bentuk serangan singkat dari suatu insiden, seperti satu target komentar rasis dan seksis, atau jangka panjang dan serangan terorganisasi.
Yang termasuk cyber harassment antara lain:
Pengancaman diatur dalam Pasal 368 KUHP dan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sementara itu, pengancaman melalui media elektronik, diatur di Pasal 29 UU ITE jo. Pasal 45B UU 19/2016.
Kekerasan Seksual Berbasis Gambar (Image-Based Sexual Abuse/ Nonconsensual distribution of intimate images/Nonconsensual pornography/“revenge porn”/Sexting/Sextortion)
Secara definisi, kekerasan seksual berbasis gambar adalah distribusi online foto atau video yang menggambarkan seksualitas tanpa izin/ persetujuan dari individu dalam gambar/konten, atau berupa distribusi gambar intim tanpa persetujuan (biasanya oleh mantan pasangan korban).
Sextortion adalah kejahatan serius yang terjadi ketika seseorang mengancam untuk mendistribusikan materi pribadi dan sensitif, ketika korban tidak memberikan foto/video intim (nudes), menolak melakukan seks melalui chat/audio/video kepada pelaku, atau ketika korban tidak dapat memberikan sejumlah uang yang diminta oleh pelaku.
Pelaku juga dapat mengancam untuk menyakiti teman atau kerabat korban dengan menggunakan informasi yang mereka peroleh dari perangkat elektronik korban dengan maksud agar korban memenuhi permintaan pelaku.
Sexting adalah mengirim, menerima, atau meneruskan pesan, foto/video yang eksplisit secara seksual, melalui internet. Sexting dapat dilakukan melalui situs web, media sosial, aplikasi chat, online game, atau aplikasi kencan.
Penyebaran konten intim (nudes) tanpa persetujuan dari pemilik foto/video merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual berbasis online yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Voyeurisme (Creepshots)
Ketika seseorang melakukan voyeurisme, ia diam-diam mengambil foto atau merekam video orang lain untuk tujuan seksual.
Pelaku menggunakan kamera tersembunyi untuk mengambil foto/video korban secara diam-diam tanpa sepengetahuan mereka. Dalam beberapa kasus, mereka menayangkan secara langsung gambar yang direkam kepada penonton (audiens) yang tidak diinginkan. Alat perekamnya sendiri dapat diletakkan di tempat pribadi seperti toilet, kamar ganti, atau fasilitas pribadi di ruang publik lainnya.
Creepshots merupakan pengambilan gambar seseorang untuk dipublikasikan ke publik untuk dilihat dan dikomentari untuk mempermalukan atau melakukan seksualisasi pada orang dalam gambar tersebut.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur larangan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.“
Manipulasi Media (Deepfake/Synthetic Media/Morphing)
Manipulasi media adalah membuat gambar/video seksual palsu dengan menempatkan wajah/kepala seseorang di atas tubuh yang bercitra seksual, biasanya dilakukan untuk mempermalukan korban serta mencemarkan nama baiknya.
Manipulasi media juga dikenal dengan nama deepfake.
Membuat deepfake diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Doxing/Doxxing
Doxing adalah penyebaran publik informasi pribadi seseorang untuk merendahkan, melecehkan, dan merusak reputasi mereka. Informasi pribadi yang pelaku sebarkan dapat berupa:
Doxing telah sering dilakukan untuk mengintimidasi korban. Dengan mendorong publik dalam media online untuk melecehkan korban, korban menjadi takut dilecehkan atau disakiti secara langsung.
Pasal 32 ayat (2) UU ITE melarang:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.”
Penghinaan dan Fitnah (Defamation and Misinformation)
Penghinaan dan fitnah terjadi ketika seseorang menerbitkan publikasi yang berbahaya dan menyesatkan tentang suatu informasi tidak pantas yang dapat merusak reputasi seseorang, terlepas dari kebenarannya.
Sementara itu, pencemaran nama baik adalah pernyataan fakta yang tidak benar akan seseorang (korban) dan bertujuan untuk merusak nama baik atau reputasi seseorang melalui internet.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatur larangan bagi pelaku pencemaran nama baik:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Peniruan Identitas (Impersonating)
Seseorang meniru identitas ketika ia membuat akun atas nama orang lain untuk menyebarkan informasi palsu yang merusak reputasi orang yang mereka tiru serta merusak kehidupan pribadi orang tersebut. Peniruan identitas juga meliputi menyamar sebagai korban untuk mendapatkan informasi pribadi korban.
Pasal 35 UU ITE melarang peniruan identitas secara online:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Ujaran kebencian adalah komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, disabilitas, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan kepercayaan, dan lain-lain.
Ujaran kebencian juga termasuk perkataan, perilaku, tulisan, atau pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan prasangka, entah dari pihak pelaku maupun korban.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE melarang:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Peretasan (Hacking)
peretasan adalah tindakan menggunakan teknologi untuk mendapatkan akses ilegal ke sistem atau sumber daya untuk tujuan memperoleh informasi pribadi, mengubah atau memodifikasi informasi, atau memfitnah dan merendahkan korban termasuk menyalahgunakan kata kunci (password), mengontrol fungsi komputer, seperti pembekuan komputer atau keluar (logout).
Pasal 30 ayat (3) UU ITE melarang:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.”